Call Center Zona Madiun

Aksara Java Ketika Gajah Mada Masih Memberikan pimpinan Kepada Punggawa Majapahit


Aksara Jawa  {{{caption}}}

Jenis aksara Abugida
Bahasa Jawa
Sunda
Madura
              Periode ± abad 13 hingga sekarang
Arah penulisan Kiri ke kanan
Silsilah
Proto-Sinaitic
  • Fenisia
    • Aramea
      • Brahmi
        • Pallawa
          • Kawi/Jawa Kuna
            • Aksara Jawa
Aksara kerabat Bali
Batak
Baybayin
Buhid
Hanunó'o
Kaganga (Rejang)
Lontara (Bugis)
Rencong
Sunda Kuno
Tagbanwa (Tagalog)
Baris Unicode U+A980U+A9DF
ISO 15924 Java, 361
Nama Unicode Javanese
Perhatian: Halaman ini mungkin memuat simbol-simbol fonetis IPA menggunakan Unicode.
Aksara Jawa, dikenal juga sebagai Hanacaraka   dan Carakan    adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak  Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali.
Dalam sehari-hari, penggunaan aksara Jawa umum digantikan dengan huruf Latin yang pertama kali dikenalkan Belanda pada abad ke-19.  Aksara Jawa resmi dimasukkan dalam Unicode versi 5.2 sejak 2009. Meskipun begitu, kompleksitas aksara Jawa hanya dapat ditampilkan dalam program dengan teknologi Graphite SIL, seperti browser Firefox dan beberapa prosesor kata open source, sehingga penggunaannya tidak semudah huruf Latin. Kesulitan penggunaan aksara Jawa dalam media digital merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang populernya aksara tersebut selain di kalangan preservasionis.

Ciri-ciri

Aksara Jawa adalah sistem tulisan Abugida yang ditulis dari kiri ke kanan. Setiap aksara di dalamnya melambangkan suatu suku kata dengan vokal / / atau / /, yang dapat ditentukan dari posisi aksara di dalam kata tersebut. Penulisan aksara Jawa dilakukan tanpa spasi (scriptio continua)  dan karena itu pembaca harus paham dengan teks bacaan untuk dapat membedakan tiap kata. Selain itu, dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa juga kekurangan tanda baca dasar, seperi titik dua, tanda kutip, tanda tanya, tanda seru, dan tanda hubung.

Aksara Jawa dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya. Aksara dasar terdiri dari 20 suku kata yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa modern, sementara jenis lain meliputi aksara suara, tanda baca  dan angka Jawa  Setiap suku kata dalam aksara Jawa memiliki dua bentuk, yang disebut nglegena (aksara telanjang), dan pasangan (ini adalah bentuk subskrip yang digunakan untuk menulis gugus konsonan).

Kebanyakan aksara selain aksara dasar merupakan konsonan teraspirasi atau retrofleks yang digunakan dalam bahasa Jawa Kuno karena dipengaruhi bahasa Sanskerta. Selama perkembangan bahasa dan aksara Jawa, huruf-huruf ini kehilangan representasi suara aslinya dan berubah fungsi.

Sejumlah tanda diakritik yang disebut sandhangan berfungsi untuk mengubah vokal (layaknya harakat pada abjad Arab), menambahkan konsonan akhir, dan menandakan ejaan asing . Beberapa tanda diakritik dapat digunakan bersama-sama, namun tidak semua kombinasi diperbolehkan.

Hanacaraka

Aksara Jawa umum diurutkan dengan urutan Hanacaraka, yaitu mengacu pada lima aksara pertama[11]. Urutan tersebut membentuk sebuah puisi atau pangram 4 bait yang menceritakan tentang tokoh Aji Saka dan legenda terciptanya aksara Jawa[12]. Puisi tersebut diceritakan sebagai berikut:
Namun dari itu, pengurutan ini tidak menjelaskan posisi aksara lainnya, terutama murda dan mahaprana. Selain itu, pengurutan ini berbeda jauh dengan urutan asli aksara Jawa yang mengikuti kaidah bahasa Sanskerta.

Kaganga

Aksara Jawa juga dapat disusun dengan urutan Kaganga yang mengikuti kaidah Sanskerta Panini[2], sehingga memiliki paralel dengan urutan aksara-aksara India lainnya. Urutan ini dipakai dengan mengacu pada aksara-aksara Jawa Kuno pada periode Hindu-Buddha, dan sekarang dipakai sebagai urutan aksara Jawa dalam Unicode. Dengan urutan ini, setiap aksara dapat mewakili bunyi unik yang digunakan dalam bahasa Jawa kuno. Urutannya sebagai berikut:

Aksara Jawa sampai sekarang masih diajarkan di sekolah-sekolah wilayah berbahasa Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta, sebagai bagian dari muatan lokal kelas 3 hingga 5 SD.[14] Walaupun demikian, penggunaan sehari-hari, seperti dalam media cetak atau televisi, masih sangat terbatas dan terdesak oleh penggunaan aksara Latin yang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa. Namun selain itu, usaha-usaha revivalisasi hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti pada penulisan nama jalan. Salah satu penghambatnya adalah tidak adanya pengembangan ortografi dan tipografi aksara[14], serta digitalisasi komputer yang sulit dilakukan karena kompleksitas aksara Jawa.

Bahasa Sunda

Aksara Jawa juga dapat digunakan untuk menulis bahasa Sunda. Namun aksara dimodofikasi dan dikenal dengan nama Cacarakan. Salah satu perbedaan terlihat dari tidak digunakannya huruf dha dan tha, sehingga konsonan dasarnya hanya terdiri dari 18 huruf. Perbedaan juga terlihat dari penggunaan kombinasi tanda baca pepet-tarung ( ) untuk vokal /ɤ/,  , penyederhanaan vokal /o/ menjadi tanda baca tunggal tolong (),  dan bentuk huruf "nya" yang berbeda 

Bahasa Bali

Aksara Bali pada dasarnya hanyalah varian tipografik. Seperti Sunda, Bali juga tidak menggunakan huruf dha dan tha. Namun karakter yang tidak digunakan lagi di Jawa masih digunakan untuk menulis kata serapan Sanskerta dan Jawa Kuno 
Hanacaraka gaya Jawa





Hanacaraka yang diperluas

Kalangan neo-konservatif Jawa juga mengemukakan urutan alternatif yang dengan ciri kedua urutan di atas. Aksara disusun berdasarkan urutan hanacaraka, namun aksara murda dan mahaprana diikutsertakan beserta bunyi aslinya sebagaimana dalam urutan kaganga. Hal ini dianggap memudahkan pelafalan dan berguna untuk menulis bahasa asing bahkan bahasa Sanskerta yang masih banyak digunakan terutama untuk motto kesatuan, organisasi bahkan motto NKRI. Berikut urutan ke-36 aksara Jawa sesuai bunyi abjad fonetis internasional
HanaCarakan terutama digunakan oleh penulis dalam lingkungan kraton kerajaan seperti Surakarta dan Yogyakarta untuk menulis naskah berbagai subjek, di antaranya cerita-cerita (serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan (primbon). Subjek yang populer akan berkali-kali ditulis ulang.  Naskah umum dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (disebut wadana) yang rumit dan kaya warna.
Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di Sriwedari, Surakarta menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan landasan awal standarisasi ortografi aksara Jawa.  Setelah kemerdekaan Indonesia, banyak panduan mengenai aturan dan ortografi baku aksara Jawa yang dipublikasikan, di antaranya Patokan Panoelise Temboeng Djawa oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 1946,  dan sejumlah panduan yang dibuat oleh Kongres Bahasa Jawa (KBJ) antara 1991 sampai 2006.  KBJ juga berperan dalam implementasi aksara Jawa di  
Namun dari itu, penggunaan aksara Jawa telah menurun sejak ortografi Jawa berbasis huruf latin ditemukan pada 1926,  dan sekarang lebih umum menggunakan huruf latin untuk menulsi bahasa Jawa. Hanya beberapa majalah dan koran yang masih mencetak dalam aksara Jawa, seperti Jaka Lodhang. Aksara Jawa masih diajarkan sebagai muatan lokal pada sekolah dasar dan sekolah menengah di provinsi yang berbahasa Jawa.

Aksara

Sebuah aksara 

dalah satuan terkecil yang merepresentasikan suku kata terbuka (Konsonan-Vokal) dengan vokal   atau   tergantung dari posisinya  Namun vokal juga tergantung dari dialek pembicara; dialek Jawa Barat cenderung menggunakan   sementara dialek Jawa Timur lebih cenderung menggunakan   Aturan baku penentuan vokal aksara dideskripsikan dalam Wewaton Sriwedari sebagai berikut:

  1. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /ɔ/ apabila aksara sebelumnya mengandung sandhangan swara.
  2. Sebuah aksara dibaca dengan vokal /a/ apabila aksara setelahnya mengandung sandhangan swara.
  3. Aksara pertama sebuah kata umumnya dibaca dengan vokal /ɔ/, kecuali dua aksara setelahnya merupakan aksara dasar. Jika begitu, aksara tersebut dibaca dengan vokal /a/.
Ketika ditransliterasikan ke dalam alfabet Latin, sebuah aksara ditransliterasikan menjadi suku kata, bukan huruf.
Terdapat 34 aksara konsonan dan 11 aksara suara (vokal) dalam aksara Jawa (di luar aksara tambahan), namun tidak semuanya digunakan dalam penulisan modern. Tabel berikut menunjukkan aksara Jawa dengan bunyi aslinya yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa Kuno dan Sanskerta.

Hanacaraka di ajarakan di sekolah-sekolah yang di pimpin pada saat kolonialisme Belanda. Selama mereka mempelajari, Para Pelajar Tersebut menghibur dirinya dengan cara bermain teka-teki silang atau "Bedeka-an" yang sampai sekarang masih ada dan tidak awam di jawa madiun yang asli, Dan jika mereka menjawab dengan menulis di atas tanah, dan di tulisakn dengan pecahan batu di buat genting atau "kreweng".Dan Jika Mereka Kalah Maka mereka akan memulai permainan Petak Umpet.Seperti Ini 

Dolanan Bedekan dan Delik-an dari Suku Jawa Madiun Dan Surakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Hotel And Villages Di Kota Madiun