Lantas, bagaimana juntrungan-nya Ki Ageng Selo bisa disebut penurun
raja-raja Mataram? Ki Ageng Selo menurunkan Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng
Ngenis menurunkan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan menurunkan
Panembahan Senapati. Dari Panembahan Senapati inilah diturunkan para
raja Mataram sampai sekarang.
Namun, perkembangan ini hendaknya tidak menyenangkan, bahwa di sisi
lain ada hal yang sanagat pentingyang mutlak diperhatikan. Yaitu, keabadian sejarah
dan konsistensi mengamalkan Serat Pepali Ki Ageng Selo, yang merupakan
pengejawantahan ajaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Untuk yang pertama (mengabadikan sejarah) meniscayakan adanya
kodifikasi sejarah Ki Ageng Selo dalam satu buku khusus, sebagaimana
Wali Songo dan para wali lain bahkan para kiai mutakhir juga diabadikan
ketokohan, jasa-jasa, dan keteladanannya dalam catatan sejarah yang utuh
dan tuntas. Dari pengamatan penulis, buku-buku sejarah yang ada saat
ini hanya menuturkan sekelumit saja tentang keberadaan Ki Ageng Selo
sebagai penurun para raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta), serta
kedigdayaannya menangkap petir (bledeg).
Minimnya perhatian ahli sejarah dan langkanya buku sejarah yang
mengupas tuntas sejarah waliyullah sang penangkap petir, memunculkan
kekhawatiran akan keasingan generasi mendatang dari sosok mulia kakek
moyang raja-raja Mataram. Tidak mustahil, anak cucu kita (termasuk warga
Surakarta dan Yogyakarta) akan asing dengan siapa dan apa jasa Ki Ageng
Selo serta keteladanan-keteladanannya. Barangkali tidak banyak yang
tahu bahwa Surakarta dan Yogyakarta memiliki ikatan sejarah dan
emosional yang erat dengan Selo. Mungkin hanya warga di lingkungan
Keraton yang mengetahui itu. Padahal ikatan itu kian kukuh dengan
diabadikannya api bledeg di tiga kota tersebut. Bahkan pada tahun-tahun
tertentu (Tahun Dal), untuk keperluan Gerebeg dan sebagainya, Keraton
Surakarta mengambil api dari Selo.
Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini
dianggap sebagai penurun raja - raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta
sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana
sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo,
Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal
oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang
sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal
sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al -
thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit :
Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini
lahir seorang anak laki - laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena
menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh
raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut
Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk
berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya
diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub
yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki
Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu
Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II.
Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki
Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang.
Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu :
- . Ki Ageng Sela,
- . Nyai Ageng Pakis,
- . Nyai Ageng Purna,
- . Nyai Ageng Kare,
- . Nyai Ageng Wanglu,
- . Nyai Ageng Bokong,
- . Nyai Ageng Adibaya .
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil
bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil
sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup
berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam.
Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu
muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam
tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat
menurunkan raja - raja besar yang menguasai seluruh Jawa .
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten
gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki
Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten
ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad.
Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana,
Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki
Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 - 36 ) .
Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk
dapat menurunkan raja - raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir
atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya
hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian
kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata :
Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu
(Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin
melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji
dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh
banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya
lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat
darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan
kembali ke desanya : Sela. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Sela
menangkap “ Petir “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki
Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan
hujan. Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Halilintar
menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul, baru
sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng,
berwujud seorang kakek - kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya
dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul
sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang
dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh
didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak
orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu
datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu
diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum
terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu
lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi
tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan
dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta
pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak
dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut
kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan
Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda
perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda
perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang
menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya.
Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi
dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya
lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng
Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di
halaman rumah memakai kain cinde .
Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun - turunipun
sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta
dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu :
- . Nyai Ageng Lurung Tengah,
- . Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ),
- . Nyai Ageng Basri,
- . Nyai Ageng Jati,
- . Nyai Ageng Patanen,
- . Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama
- . Kyai Ageng Enis.
Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri
sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau
Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama
Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki
Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama - sama berguru
kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka
Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat
tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng
Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M.
Atmodarminto, 1955 : 1222 ) .
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja -
raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki
Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja - raja Surakarta
dan Yogyakarta tersebut. Sebelum GREBEG Mulud, utusan dari Surakarta
datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu
menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh
raja - raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat .
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan
memakai arak - arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu
dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing - masing. Menurut
Shrieke api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar
“. Bahkan data - data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan
sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja - raja didunia. Bayi Ken Arok
bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari
Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya
wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang .
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat
bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap
misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa - sisa bekas
kraton tua ( Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah
distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain
terdapat di daerah Purwodadi .
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi
yang berlumpur, sumber - sumber garam dan api abadi yang keluar dari
dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut .
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan
Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan
bahwa makam - makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap
menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan
ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam
tersebut untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave
sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam - makam berikut
masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata - rata tidak
termasuk pembelian oleh Pemerintah.
Menelusuri Jejak sang Penangkap petir
Ini adalah salah satu legenda Tanah Jawa, sesosok figur ulama di daerah Selo, Grobogan, Jawa Tengah yang bernama Ki Ageng Selo.
Silsilah
Menurut silsilah, Ki Ageng Selo adalah cicit
atau buyut dari Brawijaya terakhir. Beliau moyang (cikal bakal-red) dari
pendiri kerajaan Mataram yaitu Sutawijaya. Termasuk Sri Sultan Hamengku
Buwono X (Yogyakarta) maupun Paku Buwono XIII (Surakarta).
Menurut cerita Babad Tanah Jawi (Meinama, 1905; Al-thoff, 1941),
Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning dan berputra
Bondan Kejawan/Ki Ageng Lembu Peteng yang diangkat sebagai murid Ki
Ageng Tarub. Ia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi
Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Dari perkawinan Lembu
Peteng dengan Nawangsih, lahir lah Ki Getas Pendowo (makamnya di
Kuripan, Purwodadi). Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh dan yang
paling sulung Ki Ageng Selo.
Ki Ageng gemar bertapa di hutan, gua, dan gunung sambil bertani
menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya
dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup
berkecukupan. Salah satu muridnya tercintanya adalah Mas Karebet/Joko
Tingkir yang kemudian jadi Sultan Pajang Hadiwijaya, menggantikan
dinasti Demak.
Putra Ki Ageng Selo semua tujuh orang, salah satunya Kyai Ageng
Enis yang berputra Kyai Ageng Pamanahan. Ki Pemanahan beristri putri
sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau
Sutawijaya. Melalui perhelatan politik Jawa kala itu akhirnya Sutawijaya
mampu mendirikan kerajaan Mataram menggantikan Pajang.
== Legenda Sang Penangkap Petir ==
Kisah ini terjadi pada jaman ketika Sultan Demak Trenggana
masih hidup. Syahdan pada suatu sore sekitar waktu ashar, Ki Ageng Sela
sedang mencangkul sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan
hujan. Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Petir datang
menyambar-nyambar. Petani lain terbirit-birit lari pulang ke rumah
karena ketakutan. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul,
baru sebentar dia mencangkul, datanglah petir itu menyambar Ki Ageng
Selo. Gelegar..... petir menyambar cangkul di genggaman Ki Ageng. Namun,
ia tetap berdiri tegar, tubuhnya utuh, tidak gosong, tidak koyak. Petir
berhasil ditangkap dan diikat, dimasukkan ke dalam batu sebesar
genggaman tangan orang dewasa. Lalu, batu itu diserahkan ke Kanjeng
Sunan di Kerajaan Istana Demak.
Kanjeng Sunan Demak –sang Wali Allah-- makin kagum terhadap
kesaktian Ki Ageng Selo. Beliau pun memberi arahan, petir hasil
tangkapan Ki Ageng Selo tidak boleh diberi air.
Kerajaan Demak heboh. Ribuan orang --perpangkat besar dan
orang kecil-- datang berduyun-duyun ke istana untuk melihat petir hasil
tangkapan Ki Ageng Selo. Suatu hari, datanglah seorang wanita, ia adalah
intruder (penyusup) yang menyelinap di balik kerumunan orang-orang yang
ingin melihat petirnya Ki Ageng.
Wanita penyusup itu membawa bathok (tempat air dari tempurung
kelapa) lalu menyiram batu petir itu dengan air. Gelegar... gedung
istana tempat menyimpan batu itupun hancur luluh lantak, oleh ledakan
petir. Kanjeng Sunan Demak berkata, wanita intuder pembawa bathok
tersebut adalah “petir wanita” pasangan dari petir “lelaki” yang
berhasil ditangkap Ki Ageng Selo. Dua sejoli itupun berkumpul kembali
menyatu, lalu hilang lenyap.
Versi lainnya
Versi lain menyebutkan petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo
berwujud seorang kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena,
kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya.
Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan
dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh
didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak
orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu
datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu
diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum
terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu
lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi
tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.
Sejak saat itulah, petir tak pernah unjuk sambar di Desa Selo,
apalagi di masjid yang mengabadikan nama Ki Ageng Selo. "Dengan menyebut
nama Ki Ageng Selo saja, petir tak berani menyambar," kata Sarwono
kepada Gatra.
Soal petir yang tidak pernah ada di Desa Selo diakui oleh
Sakhsun, 54 tahun. Selama 22 tahun ia menjadi muazin Masjid Ki Ageng
Selo, dan baru pada akhir November 2004 dilaporkan ada petir yang
menyambar kubah masjid Ki Ageng Selo. Lelaki berambut putih itu pun
terkena dampaknya. Petir itu menyambar sewaktu ia memegang mikrofon
hendak mengumadangkan azan asar.
Sakhsun pun tersengat. Bibirnya bengkak. "Saya tidak tahu itu
isyarat apa. Segala kejadian kan bisa dijadikan sebagai peringatan bagi
kita untuk lebih beriman," katanya. Dia sedang menebak-nebak apa yang
bakal terjadi di desa itu. Menurut kepercayaan setempat, kubah masjid
adalah simbol pemimpin. Apakah artinya ada pemimpin setempat yang akan
tumbang?
Larangan Menjual Nasi
Suatu hari ada dua orang pemuda yang bertamu ke rumah Ki Ageng Selo,
Mereka bermaksud hendak belajar ilmu agama pada KI Ageng Selo. Sebagai
tuan rumah yang baik, KI Ageng selo menghidangkan nasi pada mereka,
namun mereka menolakya dengan alasan masih kenyang. Setelah merasa sudah
cukup ( belajar ilmu agama ), kedua pemuda itu pun memohon untuk pamit
pulang. Sepulang dari rumah Ki Ageng, kedua pemuda itu tidak langsung
pulang, melainkan mampir ke warung nasi dulu untuk makan. KI Ageng Selo
melihat hal itu. Beliau merasa sakit hati dan setelah itu beliau berkata
“ Orang-orang di desa selo tidak boleh menjual nasi, kalau ada yang
melanggarnya maka bledheg akan menyambar-nyambar di langit desa Selo “.
Hingga saat ini penduduk yang tinggal di sekitar Komplek Makam KI Ageng
Selo tidak ada yang menjual nasi.
Napak Tilas KI Ageng Selo
Terletak di dusun Krajan, RT II RW 02, Desa Selo Kecamatan
Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Tempat ini juga merupakan salah satu
tempat wisata di Kabupaten Grobogan karena mengandung nilai-nilai
sejarah yang luar biasa.
Tempat-tempat penting yang masih berkaitan dengan KI Ageng Selo
- Makam KI Ageng Tarub, terletak di desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan sekitar 4 Km dari Makam KI Ageng Selo. Beliau adalah Buyut dari KI Ageng Selo. Di komplek Makam ada gentong yang airnya berasal dari sendang bidadari.
- Makam Bondan Kejawan / Lembu Peteng ( Kakek KI Ageng Selo ), terletak di dusun Mbarahan Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Sekitar 3 Km dari Makam KI Ageng Selo. Di area komplek makam banyak di bangun patung dan stupa. Kini kondisinya semakin tidak terawat. Banyak patung yang mulai rusak. Namun masih banyak orang yang datang untuk berziarah
- KI Ageng Getas Pendowo, beliau adalah Bapak dari KI Ageng Selo. Makamnya terletak di Kuripan Purwodadi sekitar 15 Km dari Makam KI Ageng Selo.
cerita menarik tapi marai bodo
BalasHapusReferensinya di cantumkan. Bagus untuk menambah wawasan
BalasHapusSalut dg kesederhanaan org2 jawa dulu
BalasHapus